Tak banyak keheranan di benak saya ketika mengetahui harian BOLA
berhenti terbit akhir Oktober lalu. Selain karena sudah lama saya tidak membaca
harian yang lahir 7 Juni 2013 ini, kesibukan—kalau boleh dikatakan kemalasan—semenjak
merantau di ibu kota membuat saya jarang menyentuh apalagi membaca BOLA.
Berita mengenai kukut-nya harian BOLA pun baru saya
ketahui dari sahabat sekaligus mentor saya selama sekolah di Jogja, Ganang Nur
Restu. Pemuda Karang Taruna yang kamarnya dipenuhi poster “Chelsea Our
Religion” ini memberitahu kabar tersebut melalui linimasa facebook.
Saya pribadi sudah mengenal BOLA sejak zaman sekolah dasar, tapi
mulai membacanya secara rutin sejak duduk dibangku perkuliahan. Saat itu format
BOLA masih tabloid yang terbit tiga kali dalam seminggu.
Dengan harga yang relatif terjangkau untuk kantong mahasiswa—yakni
Rp. 6.000-an hingga Rp. 10.000-an—ditambah bonus poster klub-klub dan
pesepakbola Eropa, BOLA menjadi surat kabar (sepak bola) yang worth to
buy.
Kegiatan membeli/membaca BOLA yang pada mulanya sekadar iseng
belaka, perlahan menjadi semacam rutinitas wajib bagi saya. Hal itu terjadi
setelah tulisan saya dimuat dirubrik Oposan pada awal-awal
2012.
“Betapa girangnya saya waktu itu. Saat menunggu antrian
pembuatan e-ktp yang begitu lama dan melelahkan,
mendapati nama saya terpampang dalam media (sepak bola) untuk pertama kalinya,
rasa lelah itu mendadak hilang, berganti rasa senang”.
Sejak itu saya mulai rutin mengirim naskah ke redaksi BOLA.
Intensitasnya jangan ditanya, bisa tiga-empat kali dalam satu bulan. Padahal
menurut kolumnis Oposan senior, Alfan Suhandi, bisa dimuat
satu kali sebulan saja sudah bagus. “Kita sadar dirilah, yang ngirim naskah ke
redaksi BOLA kan bukan kita aja,” katanya dalam suatu percakapan di dunia maya.
Saya tidak bergeming dengan pendapat si bung Juventini. Naskah
untuk BOLA tetap saya usahakan dalam berbagai kesempatan. Hasilnya pun mulai
tampak, naskah saya hampir selalu dimuat tiap bulannya.
Saya tidak terlalu mempedulikan besaran honorarium 250 ribu perak
yang didapat tiap pemuatannya. Bagi saya, mendapat pengakuan sosial dari sang
mentor Ganang Nur Restu adalah lebih dari cukup. Sebab, jika dirunut dari
proses sebab-akibat, dia adalah sosok paling berjasa mengantarkan saya
meraih la decima dalam hal pemuatan naskah di rubrik Oposan.
Ganang sendiri juga seorang kolumnis Oposan. Kualitas
tulisannya jangan ditanya. Dia adalah satu-satunya orang di Voorstenlanden yang
paham betul hubungan lagu “Berhenti Berharap-nya” Sheila on 7 dengan peristiwa
terplesetnya John Terry dalam adu tos-tosan Chelsea vs MU saat final Liga
Champions di Moskow, 2008 silam.
Pria 24 tahun yang mendaku Jamaah Mouiyah yang paling militan dan
setia itu juga amat cerdas ketika menghubungkan perbedaan ukuran gorengan
angkringan di Kota Yogyakarta dan Sleman dengan panasnya atmosfir derby
Mataram.
Thus, ketika BOLA berganti format yang lebih “instant” saya pun
tidak terlalu mempedulikan, selama BOLA masih menyediakan ruang kreatif untuk
para pembaca setianya—seperti Alfan, Ganang, dan saya—hal itu tidak terlalu
menjadi masalah. Saya pun masih sering membelinya barang dua-tiga kali seminggu.
Namun, lama kelamaan intensitas saya dalam membeli/membaca harian
BOLA berkurang. Saya merasa kehilangan sajian berita sepak bola yang sarat gizi
dan bermutu tinggi. Apa-apa yang saya baca di BOLA rasanya sudah saya bisa
dapatkan dengan mudah saat berselancar di dunia maya.
Saya pernah bertanya ke tukang koran langganan di depan Koperasi Mahasiswa
UGM, mana yang lebih laku terjual antara BOLA dengan TopSkor. Jawabannya
sungguh di luar dugaan. Sang kompetitor BOLA yang berbasis di Gelora Bung Karno
itu ternyata lebih banyak dicari pelanggan. “TopSkor beritanya lebih komplit,
mas,” kata tukang koran yang namanya belum sempat saya ketahui itu.
Kehilangan pembaca setia seperti saya, Ganang, dan Alfan, bagi
BOLA barangkali tidak terasa, namun ini menjadi masalah ketika jumlahnya terus
meningkat dan berlipat ganda. Senior saya di Jurusan Sejarah Taufiq, mengaku
sudah tidak lagi berlangganan BOLA sejak berubah ke format harian. “Saiki
aku wegah tuku BOLA mben dino, rongewu limangatus mben dino yo
lumayan keroso, bung. Mending tak gunakke nggo kegiatan amal,”
kata penggemar AS Roma yang berjiwa sosial tinggi ini.
Senior saya yang lain bahkan lebih gila, ia bisa menghabiskan
puluhan ribu rupiah tanpa membeli satu pun harian BOLA. Adalah Pradita Devis
Dukarno, orang yang selalu betah ndekem di angkringan Mz Kuwat demi
menguliti dengan telaten harian BOLA yang sudah lecek dan
bermandikan minyak itu.
Dengan dalih menghemat Anggaran Belanja Pribadi Nih..ye.. (APBN),
pria yang sekarang menjadi PNS di MPR ini rela menghabiskan waktu selama
berjam-jam hanya demi memandangi sponsor Sutra bergambar Julia
Perez (JuPe) yang biasanya ada di halaman empat harian BOLA. “Iki berita
utamane Luth, Juve sing liane mah cuma selingan,” ujar fans fanatik PSCS
Cilacap dan Juventus ini.
Di kontrakan, dulu saya sering membaca bersama-sama tabloid BOLA
bersama dua-tiga orang. Jumlah halaman yang banyak membuat saya nyaman dalam
mengatur pembagian rubrik berita. Namun, kegiatan itu tidak lagi bisa dilakukan
saat BOLA berganti konsep menjadi harian.
Saya, Ridwan, Asef, Safar, Dede, dan Napek tak bisa lagi membaca
tabloid secara bersama. Kami harus saling bergantian membacanya. Kalau sudah
terlalu lama menunggu antrian, tak jarang kami kehilangan selera membaca. Saya
pun menjadi merasa sia-sia membeli harian BOLA karena informasinya tidak dapat
terdistribusikan secara maksimal. Walhasil, setiap hari saya selalu menahan
keinginan membeli BOLA.
Kisah saya bersama BOLA perlahan-lahan menemui akhirnya seiring
kemunculan media-media alternatif seperti panditfootball.com dan fandom.id yang
menyajikan berita sepak bola dari sudut pandang berbeda. Bagi saya, kedua situs
tersebut menawarkan hal yang baru dalam pemberitaan sepak bola.
Bahwa sepak bola tak hanya melulu soal taktikal dan bagaimana ke duapuluhdua
pemain di lapangan saling jegal. Sepak bola nyatanya juga memiliki dimensi lain
yang dapat digali dari segi budaya, ekonomi, sosial, maupun kemanusiaan.
Terakhir, saya berharap BOLA akan terlahir kembali sebagai media
sepak bola terkemuka di Indonesia. Keputusan BOLA yang akan kembali hadir ke
“permukaan” hanya satu kali dalam seminggu itu, tentu menjadi sinyal positif
bahwa media yang lahir sejak 1984 itu akan kembali menyajikan berita-berita
sepak bola yang memiliki kedalaman.