Jumat, 06 November 2015

BOLA dan Usaha (Saya) Menolak Lupa




Tak banyak keheranan di benak saya ketika mengetahui harian BOLA berhenti terbit akhir Oktober lalu. Selain karena sudah lama saya tidak membaca harian yang lahir 7 Juni 2013 ini, kesibukan—kalau boleh dikatakan kemalasan—semenjak merantau di ibu kota membuat saya jarang menyentuh apalagi membaca BOLA.

Berita mengenai kukut-nya harian BOLA pun baru saya ketahui dari sahabat sekaligus mentor saya selama sekolah di Jogja, Ganang Nur Restu. Pemuda Karang Taruna yang kamarnya dipenuhi poster “Chelsea Our Religion” ini memberitahu kabar tersebut melalui linimasa facebook.

Saya pribadi sudah mengenal BOLA sejak zaman sekolah dasar, tapi mulai membacanya secara rutin sejak duduk dibangku perkuliahan. Saat itu format BOLA masih tabloid yang terbit tiga kali dalam seminggu.

Dengan harga yang relatif terjangkau untuk kantong mahasiswa—yakni Rp. 6.000-an hingga Rp. 10.000-an—ditambah bonus poster klub-klub dan pesepakbola Eropa, BOLA menjadi surat kabar (sepak bola) yang worth to buy.

Kegiatan membeli/membaca BOLA yang pada mulanya sekadar iseng belaka, perlahan menjadi semacam rutinitas wajib bagi saya. Hal itu terjadi setelah tulisan saya dimuat dirubrik Oposan pada awal-awal 2012.

“Betapa girangnya saya waktu itu. Saat menunggu antrian pembuatan e-ktp  yang begitu lama dan melelahkan, mendapati nama saya terpampang dalam media (sepak bola) untuk pertama kalinya, rasa lelah itu mendadak hilang, berganti rasa senang”.

Sejak itu saya mulai rutin mengirim naskah ke redaksi BOLA. Intensitasnya jangan ditanya, bisa tiga-empat kali dalam satu bulan. Padahal menurut kolumnis Oposan senior, Alfan Suhandi, bisa dimuat satu kali sebulan saja sudah bagus. “Kita sadar dirilah, yang ngirim naskah ke redaksi BOLA kan bukan kita aja,” katanya dalam suatu percakapan di dunia maya.

Saya tidak bergeming dengan pendapat si bung Juventini. Naskah untuk BOLA tetap saya usahakan dalam berbagai kesempatan. Hasilnya pun mulai tampak, naskah saya hampir selalu dimuat tiap bulannya.

Saya tidak terlalu mempedulikan besaran honorarium 250 ribu perak yang didapat tiap pemuatannya. Bagi saya, mendapat pengakuan sosial dari sang mentor Ganang Nur Restu adalah lebih dari cukup. Sebab, jika dirunut dari proses sebab-akibat, dia adalah sosok paling berjasa mengantarkan saya meraih la decima dalam hal pemuatan naskah di rubrik Oposan.

Ganang sendiri juga seorang kolumnis Oposan. Kualitas tulisannya jangan ditanya. Dia adalah satu-satunya orang di Voorstenlanden yang paham betul hubungan lagu “Berhenti Berharap-nya” Sheila on 7 dengan peristiwa terplesetnya John Terry dalam adu tos-tosan Chelsea vs MU saat final Liga Champions di Moskow, 2008 silam.

Pria 24 tahun yang mendaku Jamaah Mouiyah yang paling militan dan setia itu juga amat cerdas ketika menghubungkan perbedaan ukuran gorengan angkringan di Kota Yogyakarta dan Sleman dengan panasnya atmosfir derby Mataram.  

Thus, ketika BOLA berganti format yang lebih “instant” saya pun tidak terlalu mempedulikan, selama BOLA masih menyediakan ruang kreatif untuk para pembaca setianya—seperti Alfan, Ganang, dan saya—hal itu tidak terlalu menjadi masalah. Saya pun masih sering membelinya barang dua-tiga kali seminggu.

Namun, lama kelamaan intensitas saya dalam membeli/membaca harian BOLA berkurang. Saya merasa kehilangan sajian berita sepak bola yang sarat gizi dan bermutu tinggi. Apa-apa yang saya baca di BOLA rasanya sudah saya bisa dapatkan dengan mudah saat berselancar di dunia maya.

Saya pernah bertanya ke tukang koran langganan di depan Koperasi Mahasiswa UGM, mana yang lebih laku terjual antara BOLA dengan TopSkor. Jawabannya sungguh di luar dugaan. Sang kompetitor BOLA yang berbasis di Gelora Bung Karno itu ternyata lebih banyak dicari pelanggan. “TopSkor beritanya lebih komplit, mas,” kata tukang koran yang namanya belum sempat saya ketahui itu.

Kehilangan pembaca setia seperti saya, Ganang, dan Alfan, bagi BOLA barangkali tidak terasa, namun ini menjadi masalah ketika jumlahnya terus meningkat dan berlipat ganda. Senior saya di Jurusan Sejarah Taufiq, mengaku sudah tidak lagi berlangganan BOLA sejak berubah ke format harian. “Saiki aku wegah tuku BOLA mben dino, rongewu limangatus mben dino yo lumayan keroso, bung. Mending tak gunakke nggo kegiatan amal,” kata penggemar AS Roma yang berjiwa sosial tinggi ini.

Senior saya yang lain bahkan lebih gila, ia bisa menghabiskan puluhan ribu rupiah tanpa membeli satu pun harian BOLA. Adalah Pradita Devis Dukarno, orang yang selalu betah ndekem di angkringan Mz Kuwat  demi menguliti dengan telaten harian BOLA yang sudah lecek dan bermandikan minyak itu.

Dengan dalih menghemat Anggaran Belanja Pribadi Nih..ye.. (APBN), pria yang sekarang menjadi PNS di MPR ini rela menghabiskan waktu selama berjam-jam hanya demi memandangi sponsor Sutra bergambar Julia Perez (JuPe) yang biasanya ada di halaman empat harian BOLA. “Iki berita utamane Luth, Juve sing liane mah cuma selingan,” ujar fans fanatik PSCS Cilacap dan Juventus ini.

Di kontrakan, dulu saya sering membaca bersama-sama tabloid BOLA bersama dua-tiga orang. Jumlah halaman yang banyak membuat saya nyaman dalam mengatur pembagian rubrik berita. Namun, kegiatan itu tidak lagi bisa dilakukan saat BOLA berganti konsep menjadi harian.

Saya, Ridwan, Asef, Safar, Dede, dan Napek tak bisa lagi membaca tabloid secara bersama. Kami harus saling bergantian membacanya. Kalau sudah terlalu lama menunggu antrian, tak jarang kami kehilangan selera membaca. Saya pun menjadi merasa sia-sia membeli harian BOLA karena informasinya tidak dapat terdistribusikan secara maksimal. Walhasil, setiap hari saya selalu menahan keinginan membeli BOLA.

Kisah saya bersama BOLA perlahan-lahan menemui akhirnya seiring kemunculan media-media alternatif seperti panditfootball.com dan fandom.id yang menyajikan berita sepak bola dari sudut pandang berbeda. Bagi saya, kedua situs tersebut menawarkan hal yang baru dalam pemberitaan sepak bola.

Bahwa sepak bola tak hanya melulu soal taktikal dan bagaimana ke duapuluhdua pemain di lapangan saling jegal. Sepak bola nyatanya juga memiliki dimensi lain yang dapat digali dari segi budaya, ekonomi, sosial, maupun kemanusiaan.

Terakhir, saya berharap BOLA akan terlahir kembali sebagai media sepak bola terkemuka di Indonesia. Keputusan BOLA yang akan kembali hadir ke “permukaan” hanya satu kali dalam seminggu itu, tentu menjadi sinyal positif bahwa media yang lahir sejak 1984 itu akan kembali menyajikan berita-berita sepak bola yang memiliki kedalaman.