Kamis, 07 April 2016

Galau-Galau Man United


Meski belum pasti, banyak pihak meyakini jika pergantian tongkat estafet kepelatihan MU dari Louis Van Gaal ke Jose Mourinho hanyalah soal waktu. Namun tampaknya keyakinan tersebut mulai menemui keraguannya setelah belakangan ini santer terdengar isu yang menghubungkan The Happy One dengan beberapa klub dan tim nasional seperti Valencia, Real Madrid, hingga yang teranyar: Suriah.
Manchester United sendiri dikabarkan belum melakukan pendekatan formal terhadap pelatih kelahiran Setubal, Portugal, 53 tahun lalu itu. Seperti dilaporkan Cadona Cope, pemilik MU (masih) menunda terjadinya tanda tangan kontrak resmi, meski kesepakatan personal antara keduanya (diduga) telah tercapai.
Sementara Mourinho mengultimatum bahwa awal Mei adalah batas terakhir bagi MU untuk meminang jasanya, CEO MU Ed Woodward justru dikabarkan (lebih) mendukung Van Gaal melanjutkan pekerjaannya di Old Trafford. Dan telah menyiapkan rencana transfer untuknya musim depan.
Kegalauan akan siapa sosok manajer yang mengisi kursi paling panas di Old Trafford musim depan tampaknya bukan hanya milik mereka semata. Dari kursi penonton pun dipastikan merasakan hal yang sama. Apalagi anak asuh Van Gaal menunjukkan performa menawan dibeberapa laga terakhir yang mereka lakoni, meski dengan gaya permainan yang sama sekali tidak mengesankan.
Seperti diketahui, MU sukses mengepak point maksimal dari dua laga berat yang dilakoninya kala bersua Manchester City dan Everton. Pada laga pertama yang dihelat di Etihad Stadium, Iblis Merah yang tidak diunggulkan justru mampu meraih kemenangan lewat aksi memukau si bocah ajaib: Marcus Rashford. Dua minggu berselang, The Van Gaal Babes XI kembali menang atas Everton lewat gol tunggal Anthony Martial hasil kerja sama dengan pemain muda Belanda Timothy Fosu-Mensah. 
Desakan publik Old Trafford yang menginginkan Van Gaal enyah secepatnya pun perlahan mulai surut seiring peningkatan performa klub idolanya yang kini kembali ke persaingan zona 4 besar BPL. Apalagi melihat komitmen sang Meneer yang begitu besar terhadap pemain akademi, dengan mengorbitkan sejumlah wajah ingusan seperti James Weir, Cameroon Bortwick-Jackson, Axel Tuanzebe, Guilermo Varela, Regan Poole, Joe Riley, termasuk Fosu-Mensah dan Marcus Rashford.  
"Saya selalu percaya pada pemain muda. Sebab mereka pasti ingin unjuk gigi pada pelatihnya, pada suporter, dan pada dunia. Yang menjadi soal, pemain muda (biasanya) kurang konsisten," ujar si Tulip Besi (julukan Van Gaal) sebelum melakoni laga Piala FA melawan West Ham.
Perjudian Van Gaal dengan pemain belia-nya pun tampak berhasil ketika ia melahirkan sensasi baru United dalam diri Marcus Rashford. Bocah 18 tahun ini telah menyumbang 5 gol dalam 8 pertandingan yang dilakoninya di BPL dan Liga Eropa. Beberapa gol dicetaknya dengan cara cara sensasional dan fenomenal. Menghidupkan kembali gairah suporter MU di tribun yang teramat lelah meneriakkan Attack...Attack...Attack!!!. 
Kesempatan MU mengangkat trofi BPL di musim ini memang hampir mustahil mengingat gap perolehan poin yang jauh antara sang pemuncak klasemen Leicester City (69) dengan MU sendiri (54). Namun armada Van Gaal masih berpotensi merangsek ke posisi 3 menggeser Arsenal.
Kembali ke soal siapa yang akan menjadi manajer MU musim depan, manajemen MU sepertinya masih menunggu hasil akhir musim nanti. Jika nantinya Van Gaal tidak mampu membawa MU menembus zona Liga Champions, pintu keluar baginya jelas terbuka lebar. Namun keinginan manajemen MU untuk menghadirkan Mourinho di kursi manajerial United bisa jadi akan sulit karena saat itu bisa saja Mourinho sudah menjadi pelatih Valencia, Suriah, atau Real Madrid.
Sementara mereka saling membuat galau satu sama lain, para fans MU yang konon jumlahnya mencapai 10 persen dari total penduduk bumi, telah bersiap menyambut Ryan Giggs sebagai pelatih baru MU.  



Kamis, 10 Maret 2016

Jelang Pertarungan Akbar di “Liga Malam Jum’at” Siapa Lebih Digdaya?





Seperti sudah diprediksi banyak kalangan, akhirnya Manchester United bertemu Liverpool di babak 16 besar kompetisi kasta kedua Eropa (Europa League). Ya, ibarat pasangan, kedua klub yang sama-sama mengklaim warna merah sebagai identitas klub ini memang sangat kompak. Di kompetisi domestik mereka sama-sama sedang mengejar posisi empat besar, di level Eropa mereka juga berusaha keras untuk melaju sejauh mungkin. Nah, entah sengaja disetting atau tidak, mereka justru dipertemukan dalam partai yang menurut sebagian orang dianggap “final kepagian”. Lalu siapa yang lebih digdaya di antara keduanya?

Bursa taruhan 188bet ternyata lebih mengunggulkan armada Juergen Klopp sebagai pemenang laga kali ini. Dengan pertaruhan 2,07 untuk The Anfield Gank, 3,80 untuk Setan Merah, dan 3,25 untuk hasil imbang, Liverpool jauh diunggulkan. Apalagi Jordan Henderson dkk sedang dalam performa apik menyusul kemenangan atas Manchester City dan Crystal Palace di kompetisi BPL.

Lalu bagaimana dengan MU? Kekalahan absurd dari West Bromwich Albion yang didahului kartu merah Juan Mata pada menit’23 tentu banyak mempengaruhi penilaian orang terhadap kemampuan skuat Louis van Gaal. Kekalahan tersebut ibarat setitik noda yang mengotori kegemilangan performa MU di laga-laga sebelumnya ketika berturut-turut mengandaskan perlawanan klub antah berantah Midtjyland di Liga Eropa, lalu Arsenal dan Watford di kompetisi BPL.

Namun ada fakta lain yang bisa jadi faktor penentu laga yang dihelat di Anfield ini. Ya, semua pasti tahu jika selama menukangi United meneer van Gaal belum pernah dikalahkan oleh klub yang menjunjung tinggi legenda mereka: Steven Gerrard. Dari empat kali bentrokan dengan Liverpool di Premier League, van Gaal selalu berhasil membuat fans United—untuk sejenak—melupakan buruknya performa MU bersamanya di laga-laga sebelumnya.

Fakta apik tersebut juga didukung dengan track record MU kala menghadapi klub-klub Inggris di pentas Eropa. Sejarah mencatat dari sembilan pertemuan MU dengan klub-klub satu negara, Setan Merah bisa mendulang enam kemenangan dan dua hasil imbang.



       

      

Jumat, 29 Januari 2016

Berkenalan dengan Football Manager: Candu dibalik Tombol Kontinu [2]


red alert!
Saya benar-benar terjun ke lembah hitam dunia kepelatihan virtual secara kaffah, setelah melihat seorang rekan kantor [Nuran] memainkan Football Manager edisi 2015 dengan khusuknya. Dan ternyata, setelah saya amati. Voila! . Ada perubahan dari segi tampilan pertandingan. Simulasinya mirip game FIFA, men!

keren mzbro

Kuwi [game] FIFA, mas?”
Dudu, football manager iki
Kok tampilane keren yo
Iyo lah, arep njajal po?
Ho oh mas, aku njaluk mastere kene
Singkat cerita, saya memulai karier sebagai “pelatih” dengan pengalaman kepelatihan yang nihil dan penguasaan bahasa Inggris yang hampir mustahil. Klub pertama yang saya latih adalah Manchester United. Mainstream!
Di dunia nyata, menggantikan tugas pelatih letterlijk macam van Gaal barangkali hal yang mustahil bagi saya. Lha saya ini memangnya siapa? hanyalah katengbat kopok kuping. Tapi tunggu dulu, di FM2015, saya bisa mengatur semuanya sesuai keinginan, sesuai imajinasi dan tentunya, daya kreatifitas. Yah, namanya saja permainan.
Namun demikian, bermain Football Manager nyatanya tidak semudah ketika kita meninggalkan shalat yang lima waktu #Subhanallah. Perlu kesabaran ekstra dan keuletan luar biasa dalam mengelola sebuah tim. Tim yang memiliki materi pemain kualitas wahid belum tentu selalu beroleh kemenangan disetiap laga dan meraih gelar juara dengan mudah.
Sebaliknya, tim antah berantah—jika dikelola secara bijak dengan manajemen taktik yang tepat—bisa jadi tim kuat yang piawai menaklukan tim-tim besar, bahkan meraih trofi bukanlah mimpi di siang bolong.
Klub-klub besar yang saya coba manajeri [MU, Barcelona, Manchester City, dan Chelsea] nyatanya tak ada satu pun yang saya antar menjuarai trofi, sekalipun itu trofi minor. Sulit memang. Namun, justru disitulah tantangannya. 

Kita benar-benar dihadapkan pada situasi yang umum terjadi di dunia sepak bola. Mengelola keuangan klub, merancang siasat yang tepat, menghadapi kecerewetan media, hingga mengelola emosi ketika dihujami tekanan dari para suporter.
Tapi ada satu hal yang perlu diwaspadai dari game ini, yaitu tombol kontinu. Percaya atau tidak tombol ini--meminjam istilah Thomas Djorgi--mengandung umpan--sekaligus--meminjam istilah Marcell--menjadi candu. Tombol ini bisa membuat para gamers lupa mantan daratan, lupa makan, dan bahkan lupa menyembah Tuhan. Ibarat istilah Jawa, sing wes berkeluarga lali karo bojone [yang sudah berkeluarga lupa dengan istrinya], sing iseh jomblo lali nggolek bojo [yang masih sendiri lupa mencari istri], sing nduwe warung lali karo dagangane [yang punya warung lupa dengan dagangannya]. 
Ya, disebalik tombol kontinu tersembunyi semacam daya magis. Kita akan dipaksa mengklik tombol tersebut secara terus menerus jika ada progres yang bagus seputar bursa transfer pemain, maupun hasil pertandingan yang kita jalani. Kita bisa jadi baru akan berhenti bermain  jika tim yang kita asuh terus menuai hasil negatif di segala kompetisi, belum lagi jika pemain buruan enggan diajak bergabung atau klub tempatnya bernaung tidak mau melepas dengan harga yang rasional. Di situ kadang kita merasa seperti Mourinho.

saya ketika berhasil membawa Manchester City memenangi Community Shield


Sabtu, 16 Januari 2016

Berkenalan dengan Football Manager: Game Seru Pembunuh Waktu

source: hitc.com

Awalnya saya tidak terlalu berminat dengan game Football Manager. Mengetahuinya sejak zaman kuliah di Jogja, saya berpikir genre game sepak bola ini terlalu egois. Hanya bisa dimainkan oleh satu orang. Sebagai seorang sosialis Indonesia sejati yang menjunjung nilai-nilai ke-guyub-an, jelas saya tidak bisa menerima hal ini. Karenanya, saya lebih tertarik menggeluti Pro Evolution Soccer-nya Konami atau FIFA-nya EA Sports yang bisa melibatkan lebih banyak orang dan mempertemukan individu-individu dengan ideologi kesepian.
Ketidakpedulian saya dengan game garapan Sports Interactive itu kian bertambah ketika melihat dua kawan kontrakkan: Dede dan Ridwan memainkan game tersebut. Setelah melihatnya sepintas, tidak ada hal yang mengharuskan saya menyodorkan sebilah flash disk untuk mengemis master game itu. Apalagi setelah menyaksikan tampilan pertandingan yang sangat biasa [saja] dengan simulasi permainan mirip situasi permainan karambol. Apa serunya coba?!

source: gaming-uk.net

Namun yang kemudian membuat heran, kedua kawan saya itu betah manteng di layar laptop seharian penuh hanya demi game yang berlisensi SEGA itu. Berpeluh dengan aktivitas transfer pemain, bergemuruh bersama tampik sorai suara penonton, dan mengeluh ketika hasil pertandingan tidak sesuai dengan yang diharapkan, momen-momen seperti itulah yang saya tangkap ketika menyaksikan laku nge-game mereka.
Di Eropa, fenomena tersebut ternyata sudah menjadi hal yang lumrah bagi gamers Football Manager. Seperti pernah diwartakan situs panditfootball dua tahun lalu, Football Manager bisa menghasilkan dampak sangat serius. Tak hanya menyita sebagian besar waktu para penggunanya, Football Manager bahkan bisa mengapungkan daya imajinatif para gamer-nya sampai langit tingkat tujuh dengan ritual-ritual khusus saat mengawal pertandingan, seperti menggunakan jas [layaknya manajer sepak bola betulan] atau mengenakan parka dan jaket tebal ketika klub yang dikelolanya menggelar laga tandang ke Eropa Timur, ataupun ke wilayah Skandinavia. Dahsyat!



source: panditfootball.com

Di Indonesia, game Football Manager memang belum terlalu familiar. Selain tidak menjunjung nilai dan semangat kolektivitas, sejauh yang saya ketahui, game ini kebanyakan dimainkan dalam platform personal computer [PC], dan jarang saya temui di konsol permainan macam Playstation maupun X-Box.

Saya yang pada awalnya sama sekali tidak berminat menjadi seorang manajer sepak bola virtual. Akhirnya, mulai tertarik dengan game yang menuntut kesabaran dan ketelatenan ini. Mulai akhir tahun lalu, saya [dengan sia-sia] menyisihkan 3-4 jam setiap harinya hanya demi melihat gol-gol yang dicetak Wayne Rooney dkk. Brengsek memang!