Jumat, 29 Januari 2016

Berkenalan dengan Football Manager: Candu dibalik Tombol Kontinu [2]


red alert!
Saya benar-benar terjun ke lembah hitam dunia kepelatihan virtual secara kaffah, setelah melihat seorang rekan kantor [Nuran] memainkan Football Manager edisi 2015 dengan khusuknya. Dan ternyata, setelah saya amati. Voila! . Ada perubahan dari segi tampilan pertandingan. Simulasinya mirip game FIFA, men!

keren mzbro

Kuwi [game] FIFA, mas?”
Dudu, football manager iki
Kok tampilane keren yo
Iyo lah, arep njajal po?
Ho oh mas, aku njaluk mastere kene
Singkat cerita, saya memulai karier sebagai “pelatih” dengan pengalaman kepelatihan yang nihil dan penguasaan bahasa Inggris yang hampir mustahil. Klub pertama yang saya latih adalah Manchester United. Mainstream!
Di dunia nyata, menggantikan tugas pelatih letterlijk macam van Gaal barangkali hal yang mustahil bagi saya. Lha saya ini memangnya siapa? hanyalah katengbat kopok kuping. Tapi tunggu dulu, di FM2015, saya bisa mengatur semuanya sesuai keinginan, sesuai imajinasi dan tentunya, daya kreatifitas. Yah, namanya saja permainan.
Namun demikian, bermain Football Manager nyatanya tidak semudah ketika kita meninggalkan shalat yang lima waktu #Subhanallah. Perlu kesabaran ekstra dan keuletan luar biasa dalam mengelola sebuah tim. Tim yang memiliki materi pemain kualitas wahid belum tentu selalu beroleh kemenangan disetiap laga dan meraih gelar juara dengan mudah.
Sebaliknya, tim antah berantah—jika dikelola secara bijak dengan manajemen taktik yang tepat—bisa jadi tim kuat yang piawai menaklukan tim-tim besar, bahkan meraih trofi bukanlah mimpi di siang bolong.
Klub-klub besar yang saya coba manajeri [MU, Barcelona, Manchester City, dan Chelsea] nyatanya tak ada satu pun yang saya antar menjuarai trofi, sekalipun itu trofi minor. Sulit memang. Namun, justru disitulah tantangannya. 

Kita benar-benar dihadapkan pada situasi yang umum terjadi di dunia sepak bola. Mengelola keuangan klub, merancang siasat yang tepat, menghadapi kecerewetan media, hingga mengelola emosi ketika dihujami tekanan dari para suporter.
Tapi ada satu hal yang perlu diwaspadai dari game ini, yaitu tombol kontinu. Percaya atau tidak tombol ini--meminjam istilah Thomas Djorgi--mengandung umpan--sekaligus--meminjam istilah Marcell--menjadi candu. Tombol ini bisa membuat para gamers lupa mantan daratan, lupa makan, dan bahkan lupa menyembah Tuhan. Ibarat istilah Jawa, sing wes berkeluarga lali karo bojone [yang sudah berkeluarga lupa dengan istrinya], sing iseh jomblo lali nggolek bojo [yang masih sendiri lupa mencari istri], sing nduwe warung lali karo dagangane [yang punya warung lupa dengan dagangannya]. 
Ya, disebalik tombol kontinu tersembunyi semacam daya magis. Kita akan dipaksa mengklik tombol tersebut secara terus menerus jika ada progres yang bagus seputar bursa transfer pemain, maupun hasil pertandingan yang kita jalani. Kita bisa jadi baru akan berhenti bermain  jika tim yang kita asuh terus menuai hasil negatif di segala kompetisi, belum lagi jika pemain buruan enggan diajak bergabung atau klub tempatnya bernaung tidak mau melepas dengan harga yang rasional. Di situ kadang kita merasa seperti Mourinho.

saya ketika berhasil membawa Manchester City memenangi Community Shield


Sabtu, 16 Januari 2016

Berkenalan dengan Football Manager: Game Seru Pembunuh Waktu

source: hitc.com

Awalnya saya tidak terlalu berminat dengan game Football Manager. Mengetahuinya sejak zaman kuliah di Jogja, saya berpikir genre game sepak bola ini terlalu egois. Hanya bisa dimainkan oleh satu orang. Sebagai seorang sosialis Indonesia sejati yang menjunjung nilai-nilai ke-guyub-an, jelas saya tidak bisa menerima hal ini. Karenanya, saya lebih tertarik menggeluti Pro Evolution Soccer-nya Konami atau FIFA-nya EA Sports yang bisa melibatkan lebih banyak orang dan mempertemukan individu-individu dengan ideologi kesepian.
Ketidakpedulian saya dengan game garapan Sports Interactive itu kian bertambah ketika melihat dua kawan kontrakkan: Dede dan Ridwan memainkan game tersebut. Setelah melihatnya sepintas, tidak ada hal yang mengharuskan saya menyodorkan sebilah flash disk untuk mengemis master game itu. Apalagi setelah menyaksikan tampilan pertandingan yang sangat biasa [saja] dengan simulasi permainan mirip situasi permainan karambol. Apa serunya coba?!

source: gaming-uk.net

Namun yang kemudian membuat heran, kedua kawan saya itu betah manteng di layar laptop seharian penuh hanya demi game yang berlisensi SEGA itu. Berpeluh dengan aktivitas transfer pemain, bergemuruh bersama tampik sorai suara penonton, dan mengeluh ketika hasil pertandingan tidak sesuai dengan yang diharapkan, momen-momen seperti itulah yang saya tangkap ketika menyaksikan laku nge-game mereka.
Di Eropa, fenomena tersebut ternyata sudah menjadi hal yang lumrah bagi gamers Football Manager. Seperti pernah diwartakan situs panditfootball dua tahun lalu, Football Manager bisa menghasilkan dampak sangat serius. Tak hanya menyita sebagian besar waktu para penggunanya, Football Manager bahkan bisa mengapungkan daya imajinatif para gamer-nya sampai langit tingkat tujuh dengan ritual-ritual khusus saat mengawal pertandingan, seperti menggunakan jas [layaknya manajer sepak bola betulan] atau mengenakan parka dan jaket tebal ketika klub yang dikelolanya menggelar laga tandang ke Eropa Timur, ataupun ke wilayah Skandinavia. Dahsyat!



source: panditfootball.com

Di Indonesia, game Football Manager memang belum terlalu familiar. Selain tidak menjunjung nilai dan semangat kolektivitas, sejauh yang saya ketahui, game ini kebanyakan dimainkan dalam platform personal computer [PC], dan jarang saya temui di konsol permainan macam Playstation maupun X-Box.

Saya yang pada awalnya sama sekali tidak berminat menjadi seorang manajer sepak bola virtual. Akhirnya, mulai tertarik dengan game yang menuntut kesabaran dan ketelatenan ini. Mulai akhir tahun lalu, saya [dengan sia-sia] menyisihkan 3-4 jam setiap harinya hanya demi melihat gol-gol yang dicetak Wayne Rooney dkk. Brengsek memang!