source: hitc.com
Awalnya saya tidak terlalu berminat dengan game Football
Manager. Mengetahuinya sejak zaman kuliah di Jogja, saya berpikir genre game sepak bola ini terlalu egois.
Hanya bisa dimainkan oleh satu orang. Sebagai seorang sosialis Indonesia
sejati yang menjunjung nilai-nilai ke-guyub-an, jelas saya tidak bisa menerima
hal ini. Karenanya, saya lebih tertarik menggeluti Pro Evolution Soccer-nya
Konami atau FIFA-nya EA Sports yang bisa melibatkan lebih banyak orang dan
mempertemukan individu-individu dengan ideologi kesepian.
Ketidakpedulian saya dengan game garapan Sports Interactive
itu kian bertambah ketika melihat dua kawan kontrakkan: Dede dan Ridwan
memainkan game tersebut. Setelah melihatnya sepintas, tidak ada hal yang
mengharuskan saya menyodorkan sebilah flash disk untuk mengemis master game itu.
Apalagi setelah menyaksikan tampilan pertandingan yang sangat biasa [saja] dengan
simulasi permainan mirip situasi permainan karambol. Apa serunya coba?!
source: gaming-uk.net
Namun yang kemudian membuat heran, kedua kawan saya itu betah manteng di layar laptop seharian penuh
hanya demi game yang berlisensi SEGA itu. Berpeluh dengan aktivitas transfer
pemain, bergemuruh bersama tampik sorai suara penonton, dan mengeluh ketika
hasil pertandingan tidak sesuai dengan yang diharapkan, momen-momen seperti
itulah yang saya tangkap ketika menyaksikan laku
nge-game mereka.
Di Eropa, fenomena tersebut ternyata sudah menjadi hal yang lumrah
bagi gamers Football Manager. Seperti pernah diwartakan situs panditfootball
dua tahun lalu, Football Manager bisa menghasilkan dampak sangat serius. Tak hanya
menyita sebagian besar waktu para penggunanya, Football Manager bahkan bisa mengapungkan
daya imajinatif para gamer-nya sampai langit tingkat tujuh dengan ritual-ritual
khusus saat mengawal pertandingan, seperti menggunakan jas [layaknya manajer
sepak bola betulan] atau mengenakan parka dan jaket tebal ketika klub yang
dikelolanya menggelar laga tandang ke Eropa Timur, ataupun ke wilayah
Skandinavia. Dahsyat!
source: panditfootball.com
Di Indonesia, game Football Manager memang belum terlalu
familiar. Selain tidak menjunjung nilai dan semangat kolektivitas, sejauh yang
saya ketahui, game ini kebanyakan dimainkan dalam platform personal computer
[PC], dan jarang saya temui di konsol permainan macam Playstation maupun X-Box.
Saya yang pada awalnya sama sekali tidak berminat menjadi
seorang manajer sepak bola virtual. Akhirnya, mulai tertarik dengan game yang
menuntut kesabaran dan ketelatenan ini. Mulai akhir tahun lalu, saya [dengan
sia-sia] menyisihkan 3-4 jam setiap harinya hanya demi melihat gol-gol yang
dicetak Wayne Rooney dkk. Brengsek memang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar