Kamis, 08 Oktober 2015

Mengenal Massimo Luongo: Calon Peraih Ballon d' Or dari Trah Kesultanan Bima





Namanya Massimo Luongo. Sebagai pesepakbola berdarah Indonesia, namanya barangkali tidak terlalu tenar seperti Giovani van Bronckhorst atau Radja Nainggolan. Terlebih pemain berpaspor Australia ini hanya mentas di divisi Championship kompetisi negeri Ratu Elizabeth bersama klub Queens Park Rangers.

Tapi pemain berusia 23 tahun ini membuat heboh dunia sepak bola setelah masuk dalam nominasi 59 calon peraih Ballon d'Or 2015. Ini tentu mengejutkan mengingat nama-nama kondang macam David Silva, Gianluigi Buffon, hingga Angel di Maria pun tidak masuk bursa peraih supremasi tertinggi dalam jagat kulit bundar ini.

Siapa sebenarnya Luongo?

Ia adalah pemain Timnas sepak bola Australia. Nama Luongo mencuat setelah jadi pemain terbaik Piala Asia 2015, dengan mengantarkan The Socceross jadi kampiun turnamen. Luongo kian tersohor kala namanya masuk daftar skuat final timnas Australia yang akan berlaga di Piala Dunia 2014 Brasil.

Ia menyisihkan nama-nama langganan timnas Australia seperti Josh Kennedy, Tom Rogic, Luke Wilkshire dan Mark Birighitti. Demi membela panji The Socceross di ajang sepak bola terakbar Luongo pun harus membatalkan liburannya bersama sang istri.
 
“Saya merasa baik. Saya merasa senang, istimewa, dan sangat bahagia. Emosi bercampur aduk. Saya hanya bahagia mendapat kesempatan berada di sini dan sangat bersyukur,” kata Luongo seperti ditulis goal.com.

Identitas Luongo sendiri tidak jelas. Memiliki paspor Australia, tapi tidak ada sedikitpun darah “kangguru” mengalir di nadinya. Ibu Luongo adalah seorang Indonesia. Namanya Ira. Sementara sang ayah berasal dari negeri pizza Italia. Bernama hey  Mario. 

Ira dan Mario dipertemukan Tuhan di sebuah restoran Italia di kawasan Bondi, Australia. Saat itu, Ira yang berstatus mahasiswi mencuri perhatian Mario, yang ternyata pemilik restoran tersebut.

“Suatu hari saya merasa sangat lapar dan melihat restoran Italia di Bondi, tiba-tiba seseorang membawakan bunga dan menolak saya untuk membayar (makanan),” kata ibunda Massimo Luongo tentang kisah cintanya.

Tiga tahun kemudian mereka menikah. Dan pada 25 September 1992, ia tidak menyangka akan melahirkan seorang anak yang 21 tahun kemudian menjadi bagian dari gemerlapnya Piala Dunia Brasil. Bahkan, nama Luongo kini bersaing dengan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo untuk memperebutkan Ballon d'or.

“Saya bahkan tidak tahu apakah itu nyata. Pada awalnya saya pikir pengumuman itu hanya seseorang yang mencoba untuk membuat lelucon saja,” ujar Luongo seperti dikutip dari Fox Sport.

Meski sudah menjadi warga negara Australia, Luongo tak lantas lupa dengan tanah nenek moyangnya. Kepada Telegraph Australia, Luongo mengaku memiliki leluhur yang luar biasa. Sebab kakek moyangnya merupakan Sultan dari kerajaan Bima dan Dompu di Pulau Sumbawa, bernama AA Siradjudin.

“Ada emosi yang mengikat. Saya memiliki kakek-nenek, bibi, paman dan sepupu di sana (Indonesia). Saya belum pernah ke sana namun saya menginginkannya,” kata Luongo.

Kita sebagai sebagai masyarakat sepak bola Indonesia tentu hanya bisa berharap dan berdoa agar Luongo sukses menjalani kariernya sebagai pesepakbola. Meski kini ia sudah menjadi "pemuda harapan bangsa" negara lain, kita tentunya tidak boleh pesimis. 

Kita masih memiliki stok pemuda harapan bangsa lainnya yang berpotensi mengharumkan Indonesia dalam jagat sepak bola dunia di masa depan, sedikit dari mereka adalah Tristan Alif dan (barangkali) Jack Brown. 

1 komentar:

  1. hemm,.... Kalo begitu Luongo adalah milik Tuhan. Karena ia yang mempertemukan dua orang di sebuah restoran Itali. Talenta Maradona, Messi, adalah anugerah yang Kuasa. Hanya masalah lantas muncul semenjak ia dikaitkan dengan trah, kebangsaan, negara. Karena ia bukan saja menyeret pembicaraan tentang asal usul, melainkan juga "milik siapa". Apa untungnya "kepemilikan" ini? Pertama, kepemilikan atasnya bisa berarti kesempatan mendapatkan jasanya untuk membela tim sepak bola sebuah negara. Kedua, "kepemilikan" bisa membangkitkan kebanggaan nasional. Dan, ketiga, "kepemilikan" bisa pula tak berarti apa-apa. Luango dan Indonesia, menggambarkan poin yang ketiga. Tulisan yang menarik. Kunjungi ya... berandaesai.blogspot.com

    BalasHapus